Ashabah menurut bahasa ialah : pembela, penolong, pelindung dan sebagainya. Menurut istilah ialah ahli waris yang berhak menerima sisa dari harta warisan dengan tidak ditentukan bagiannya.
Ahli waris ashabah ini menerima harta warisan, setelah diberikan kepada ahli waris dzawil furudh. Oleh karenanya, kadang-kadang sedikit bahkan terkadang tidak mendapat, oleh karena telah dihabiskan oleh ahli waris dzawil furudh, kecuali ahli waris ashabah itu dari pihak anak, tidak pernah kehabisan oleh karena ia termasuk ahli waris yang paling utama/dekat degan ayahnya (pewaris).
Adapun macam-macam ashabah, adalah sebagai berikut:
1. Ashabah Sababiyah
Sebagaimana telah disebutkan terdahulu bahwa; salah satu sebab kewarisan adalah karena memerdekakan hamba. Atas dasar/sebab inilah sehingga orang yang memerdekakan hamba, menjadi ahli waris ashabah sababiyah. (untuk lebih jelasnya tentang ashabah sababiyah ini akan dibicarakan pada sub bab Ahli Waris al-Mu’tiq)
2. Ashabah Nasabiyah
Ahli waris ashabah nasabiyah ialah; seorang yang menjadi ahli ashabah, karena adanya hubungan nasab dengan orang yang meninggal dunia (pewaris). Ashabah nasabiyah ini terbagi ke dalam tiga macam yaitu:
Ashabah binafsih
Yang dimaksud dengan ashabah binafsiah ialah orang yang karena dirinya sendiri menjadi ashabah. Dan ashabah binafsiah ini adalah orang laki-laki yang hubungan nasabnya dengan pewaris, tidak diselingi oleh perempuan. Adapun yang termasuk ke dalam kelompok ashabah binafsiah terdiri dari 12 orang yaitu:
- Anak laki-laki
- Cucu laki-laki dari pancar laki-laki (seterusnya kebawah)
- Ayah
- Kakek shahih yaitu ayah dari ayah dan seterusnya keatas
- Saudara laki-laki sekandung
- Saudara laki-laki seayah
- Kemanakan laki-laki, yaitu anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung
- Kemanakan laki-laki yaitu anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah
- Paman sekandung yaitu saudara laki-laki dari saudara laki-laki seayah
- Paman sekandung yaitu saudara laki-laki dari ayah yang seayah
- Sepupu (misan) yaitu anak laki-laki dari paman sekandung dengan ayah
- Sepupu (misan) yaitu anak laki-laki dari paman seayah dengan ayah.
Dari 12 ashabah di atas, mereka menjadi ahli waris atau menerima harta warisan berdasarkan prioritas keutamaannya dari pewaris (sesuai dengan urutan yang telah disusun di atas). Adapun yang menjadi dasar hukum ashabah binafsiah ini adalah dari sabda Rasulullah saw.,:
الْحِقُوا الْفَرَائِضَ بِأَهْلِهَا فَمَا بَقِيَ فَهُوَ لِاَوْلَي رَجُلٍ ذَكَرِArtinya: Berikanlah bagian-bagian itu kepada yang berhak, kemudian sisanya adalah untuk laki-laki terdekat. (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas)
Ashabah bil-ghairi
Yang dimaksud dengan ashabah bil-ghairi ialah ahli waris perempuan yang berkedudukan sebagai dzawil furudh, menjadi ashabah bil-ghairi oleh karena ia bersama-sama dengan ahli waris laki-laki yang telah menjadi ashabah.
Sekiranya ahli waris yang telah menjadi ashabah tidak ada, maka ia tidak bisa menjadi ashabah melainkan ia tetap dalam kedudukannya sebagai ahli waris yang tertentu bagiannya (dzawil furudh).
Yang termasuk ashabah bil-ghairi ada 4 orang ahli waris perempuan yaitu:
- Yaitu anak perempuan apabila bersama dengan anak laki-laki
- Cucu perempuan dari anak pancar laki-laki, baik saudaranya yang setingkat dengan hubungan nasabnya maupun cucu laki-laki dari pancar laki-laki itu lebih rendah tingkat hubungan nasabnya apabila dibutuhkan.
Yang dimaksud dengan dibutuhkan di sini: ialah aabila seorang meninggal dengan meninggalkan istri, ibu, dua orang anak perempuan, seorang cucu perempuan dari anak laki-laki dan seorang cucu laki-laki dari anak laki-laki atau cucu laki-laki dari anak laki-laki maka pemagiannya adalah: istri mendapat 1/8, ibu mendapat 1/6, dua orang anak perempuan mendapat 2/3 dan sisanya diambil oleh cucu perempuan dari anak laki-laki bersama dengan cucu laki-laki dari anak laki-laki.
Sekiranya tidak ada cucu laki-laki, maka tentulah cucu perempuan dimahjubkan oleh dua anak perempuan. Oleh sebab itu cucu perempuan di sini membutuhkan cucu laki-lki untuk menjadi ashabah bil-ghairi (mendapat sisa)
- Saudara perempuan sekandung, apabila bersama dengan saudara laki-laki sekandung.
- Saudara perempuan seayah, apabila bersama dengan saudara laki-laki seayah.
Adapun yang menjadi dasar hukum tentang anak perempuan dan anak laki-laki dalam kedudukannya sebagai ashabah bil-ghairi, bagian seorang anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan.
Sebagaimana firman Allah swt:
يُوْصِيْكُمُ اللّٰهُ فِيْٓ اَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِArtinya: Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan. (Q.S. 4: 11)
Demikian juga tentang dasar hukum ashabah bil-ghairi, apabila saudara perempuan bersama dengan saudara laki-laki bagiannya adalah tercantum dalam firman Allah sebagi berikut:
وَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗArtinya: Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, Maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. (Q.S. 4: 176)
Ashabah ma’al ghairi
Yang dimaksud dengan ashabah ma’al ghairi ialah ahli waris perempuan yang berkedudukan sebagai dzawil furudh (mempunyai bagian tertentu), menjadi ashabah ma’al ghairi, oleh karena adanya ahli waris lain yang bukan ashabah. Ahli waris lain tersebut ialah ahli waris dzawil furudh dan mereka tetap menerima bagiannya yang tertentu. Maksudnya mereka tidak turut bersama-sama untuk menjadi ashabah.
Ahli waris perempuan yang berkedudukan sebagai dzawil furudh atau mempunyai bagian tertentu yang dimaksud ialah: saudara perempuan sekandung atau saudara perempuan seayah. Sedangkan ahli waris lain yang bukan ashabah dan mereka tetap menerima bagiannya yang tertentu ialah: anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan dari pancar laki-laki).
Apabila seseorang meninggal dengan meninggalkan suadara perempuan sekandung seorang atau lebih, dan meninggalkan anak perempuan seorang atau lebih, atau cucu perempuan dari pancar laki-laki seorang atau lebih, maka saudara perempuan sekandung menjadi ashabah ma’al ghairi (mengambil sisa), setelah ahli waris lain yaitu anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki memperoleh bagiannya yang tertentu yaitu 1/2 atau 2/3 dari harta peninggalan.
Demikian juga halnya saudara perempuan seayah, mereka menjadi asahbah ma’al ghairi, apabila mereka menjadi ahli waris bersama dengan anak perempuan atau cucu perempuan dari pancar laki-laki.
Perlu diingat bahwa apabila saudara perempuan sekandung atau saudara perempuan seayah bersama dengan saudaranya yang laki-laki, maka saudara perempuan sekandung atau saudara perempuan seayah menjadi ashabah bil-ghairi dan anak perempuan atau cucu perempuan dari pancar laki-laki tetap juga memperoleh bagiannya sebagai ahli waris dzawil furudh.
Tetapi apabila anak perempuan atau cucu perempuan dari pancar laki-laki bersama dengan saudaranya yang laki-laki, maka ia juga menjadi ashabah bil-ghairi dan menghijab saudara sekandung atau saudara seayah baik saudara-saudara tersebut terdiri dari perempuan maupun saudara-saudara itu terdiri dari laki-laki.
Adapun yang menjadi dasar hukum tentang ashabah ma’al ghairi adalah hadis Rasulullah saw., sebagai berikut:
قَضَي رَسُوْلُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلْبِنْتِ النِّصْفُ وَلَبِنْتِ الْإِبْنِ السُّدُسُ تَكْمِلَةَ الثُّلُثَيْنِ وَمَابَقِيَ فَلِلْاُخْتِArtinya: Nabi Muhammad saw., memutuskan anak perempuan memperoleh separoh dan cucu perempuan dari anak laki-laki memperoleh seperenam untuk mencukupkan dua pertiga, dan sebaliknya itu untuk saudara perempuan. (HR. Jamaah kecuali Muslim dan an-Nasa’i dari Ibnu Mas’ud)
Demikian juga hadis Rasulullah saw., sebagai berikut:
اِنَّ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ وَرَّثَ اُخْتًا وَابْنَةً جَعَلَ لِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا النِّصْفَ وَهُوَ بِالْيَمَنِ وَنَبِيُّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَئِذٍ حَيٌّArtinya: Bahwa Mu’adz bin Jabal memberikan warisan kepada saudara perempuan dan anak perempuan masing-masing diberi separoh ketika berada di Yaman dan Rasulullah saw., ketika itu masih hidup. (HR. Abu Dawud dan al-Bukhari dengan maknanya dari al-Aswad)