Arham menurut bahasa adalah bentuk jamak dari rahim yang berarti tempat anak pada perut ibu. Rahim adalah penyebab adanya hubungan darah (melahirkan hubungan nasab) yang menjadi salah satu dasar kewarisan.
Tetapi di dalam hukum kewarisan Islam, pengertian dzawil arham menurut istilah ialah ahli waris yang mempunyai pertalian darah dengan orang yang meninggal dunia, akan tetapi ia tidak termasuk ahli waris dzawil furudh dan ashabah. Jadi ahli waris dzawil arham ini, tidak termasuk dari ahli waris yang telah dikemukakan pada sub bab terdahulu, (baik ahli waris dari pihak laki-laki ataupun dari pihak perempuan).
Adapun tentang kedudukan dzawil arham sebagai ahli waris, tidak diketemukan keterangan yang tegas baik di dalam al-Qur’an maupun di dalam hadis-hadis, sebagaimana halnya bagian-bagian ahli waris dzawil furudh dan ashabah.
Oleh karena itu para ulama berbeda pendapat, apakah dzawil arham dapat mewarisi harta peninggalan dari orang yang telah meninggal dunia, yang tidak mempunyai ahli dzawil furudh atau ahli waris ashabah, ataukah masih ada sisa setelah diberikan kepada ahli waris dzawil furudh, tetapi dzawil furudh yang ada itu tidak berhak memperoleh tambahan (pembagian rad).
Fuqaha yang berpendapat bahawa dzawil arham tidak dapat menerima harta peninggalan, meskipun tidak ada ahli waris yaitu dapat mewarisi orang yang meninggal dunia, ialah Zaid bin Tsabit yang diikuti oleh Imam Malik, Imam Syafi’i, Ibnu Hazm dan lain-lainnya. Dan menurut pendapat mereka, harta peninggalan simati yang tidak mempunyai ahli waris dzawil furudh dan ahli waris ashabah, diserahkan kepada baitul mal (kas negara) untuk kepentingan kaum muslimin.
Fuqaha yang berpendapat bahwa dzawil arham dapat menerima harta warisan dari orang yang meninggal dunia, apabila tidak ada ahli waris dzawil furudh atau ashabah, ataukah masih ada sisa setelah diberikan kepada dzawil furudh, tetapi dzawil furudh yang ada itu hanya suami atau isri yang tidak berhak memperoleh harta wrisan dengan cara rad.
Meerka ini di antaranya ialah Mu’adz bin Jabal, bahkan Khulafaur Rasyidin dan kemudian diikuti di antaranya: Mujahid, Imam Abu Hanifah, Ahmad bin Hambal dan kebanyakan ulama.
Adapun alasan yang dikemukakan, mereka mendasarkan pendaptnya kepada firman Allah:
وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْۢ بَعْدُ وَهَاجَرُوْا وَجَاهَدُوْا مَعَكُمْ فَاُولٰۤىِٕكَ مِنْكُمْۗ وَاُولُوا الْاَرْحَامِ بَعْضُهُمْ اَوْلٰى بِبَعْضٍ فِيْ كِتٰبِ اللّٰهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖArtinya: Orang-orang yang mempunyai hubungan Kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (Q.S. 8: 75)
Ayat tersebut di atas umum, tidak tertentu kepada ahli waris dzawil furudh atau ahli waris ashabah ataukah kepada lainnya. Hanya saja ahli waris dzawil furudh sudah terperinci bagiannya dan ketentuan-ketentuan bagi ahli waris ashabah secara khusus.
Tetapi dapat difahami dan dijadikan dasar bahwa: apabila tidak ada kerabat yang dekat, maka kerabat yang jauh dapat mewarisi.
Demikian juga mafhum ayat tersebut di atas, bahwa ahli waris dzawil arham memiliki dua hubungan pertalian yaitu disamping pertalian kerabat (adanya hubungan darah), juga pertalian keislaman.
Sedangkan kaum muslimin hanya memiliki satu hubungan, yakni pertalian keislaman. Dengan demikian, harta warisan orang yang meninggal lebih layak diserahkan kepada dzawil arham dari pada diserahkan kepada baitul mal untuk kepentingan kaum muslimin.
Juga pengikut Imam Syafi’I fatwa bahwa baitul mal sekarang sudah kurang beres, tidak berfungsi lagi sebagaimana mestinya, oleh karena itu harta warisan lebih pantas diserahkan kepada ahli waris dzawil arham.
Pendapat ini juga didasarkan kepada Rasulullah saw., sebagai berikut:
اَلْخَالُ وَارِثُ مَنْ لَا وَارِثَ لَهُArtinya: Saudara laki-laki ibu adalah mewarisi (menjadi ahli waris) bagi orang yang tidak mempunyai ahli waris. (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Adapun cara pembagian harta warisan kepada ahli waris dzawil arham terbagi kedalam 4 golongan yaitu:
- Golongan Bunuwah (anak keturunan), yang terdiri dari:
- Anak laki-laki atau anak perempuan dari anak perempuan dan keturunan seterusnya ke bawah
- Anak laki-laki atau anak perempuan dari anak perempuan dari anak laki-laki dan keturunan seterusnya ke bawah.
- Golongan Ubuwah (orang yang menurunkan) terdiri dari:
- Kakek ghairu shahih
- Nenek ghairu shahihah
- Golongan Ukhuwah (anak keturunan saudara) yang terdiri dari:
- Anak laki-laki atau anak perempuan dari saudara perempuan sekandung atau seayah atau seibu, dan keturunan dan seterusnya ke bawah.
- Anak perempuan dari saudara laki-laki sekandung atau seayah atau seibu seterusnya kebawah.
- Anak perempuan dari anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung atau seibu, dan keturunan seterusnya kebawah.
- Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu, dan keturunan seterusnya kebawah.
- Golongan Umumah, yang terdiri dari:
- Paman seibu (saudara laki-laki ayah yang seibu) dan keturunannya laki-laki atau perempuan
- Bibik (saudara perempuan ayah) baik sekandung dengan ayah atau seayah seibu, dan keturunannya
- Paman sekandung, seayah atau seibu (saudara laki-laki ibu) dan keturunannya.
- Bibik sekandung, seayah atau seibu dengan ibu (saudara perempuan ibu) dan keturunannya.
Perlu ditegaskan bahwa dari keempat golongan ahli waris dzawil arham diatas, diprioritaskan yang lebih dekat pertalian nasabnya kepada simati dari pada yang lebih jauh.
Oleh karenanya, apabila ada golongan yang pertama, maka golongan yang kedua tidak memperoleh harta warisan. Demikian juga apabila ada golongan kedua, maka golongan ketiga tidak mendapat dan demikianlah seterusnya.
Jadi penerimaan ahli waris dzawil arham ini sama halnya dengan ahli waris ashabah, yakni yang dekat menghalangi yang jauh dan sekaligus menghabiskan harta peninggalan yang ada.